كتاب

الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، وعلى آله وصحبه ومن والاه، أما وبعد..

Ikhwan sekalian, dalam tulisan sebelumnya, kita telah mengulas beberapa ayat yang menjelaskan tentang kedudukan sunnah di mata Al Qur’an, dan berakhir pada sebuah konklusi bahwa Sunnah Rasulullah memiliki kedudukan hukum yang setara dengan Al Qur’an.

Nah, dalam tulisan kali ini, kita akan mengulas beberapa hadits yang menjelaskan tentang kedudukan sunnah dalam Islam, lalu diikuti dengan sikap para salaf terhadap sunnah Nabi.

Hadits yang pertama ialah dari Abu Hurairah ra, katanya: Rasulullah bersabda:

( تَرَكْتُ فِيكُم شَيئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعدَهَمُا: كتَِابَ اللهِ وَسُنَّتِي، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلىَ الحَوْضِ )

Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang kalian takkan tersesat setelah mengikuti keduanya: Kitabullah dan Sunnahku. Keduanya takkan berpisah hingga mendatangiku di telaga. (HR. Al Hakim yang disahihkan oleh Adz Dzahabi & dihasankan oleh Al Albani).[1]

Perhatikan, bagaimana beliau menegaskan bahwa Al Qur’an dan Sunnah takkan berpisah selamanya hingga keduanya mendatangi beliau di Telaga, yakni di hari kiamat kelak, ketika orang-orang beriman datang untuk melepas dahaga mereka, dan mereka mendapati Nabi telah lebih dahulu ada di sana. Sedangkan orang-orang yang berbuat bid’ah sepeninggal beliau akan terhalau dari telaga tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits shahih. Dalam hadits lain beliau mengatakan:

( والذي نفسي بيده لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي أو نصراني ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار ).

Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya; tak seorang pun dari umat manusia, baik Yahudi maupun Nasrani yang pernah mendengar tentangku kemudian ia mati tanpa beriman dengan risalahku, kecuali pastilah ia masuk Neraka. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Dalam hadits ini, beliau mengaitkan sebab seseorang masuk neraka dengan satu hal, yaitu mendengar ajaran beliau namun tidak beriman, alias tidak meyakini dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Ini jelas menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah Al Qur’an dan Sunnah beliau, sebab Al Qur’an mustahil bisa diamalkan tanpa Sunnah. Beliau juga bersabda:

( إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيكُمُ الحَجَّ فَحُجُّوا فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولُ الله؟ فَسَكَتَ رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال الرجل: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولُ الله؟ فسكت رسول الله صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ قال في الثَّالِثَةِ: لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأتُوا مِنْه ُما استطعتم، وإذا نهيتكم عن شيء فدعوه ).

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji atas kalian, maka berhajilah. Seseorang pun berkata: “Apakah setiap tahun ya Rasulullah?”, namun beliau diam. Dia berkata lagi: “Apakah setiap tahun ya Rasulullah?” dan beliau tetap diam, hingga pada kali ketiga beliau bersabda: “Kalau tadi kujawab: Ya, niscaya akan wajib bagi kalian… karenanya, biarkanlah aku selama aku membiarkan kalian. Sebab umat-umat sebelum kalian binasa tidak lain karena banyak menyoal dan menyelisihi para Nabi. Jika kalian kuperintah dengan suatu perintah, maka lakukanlah semampu kalian, sedang jika kularang dari sesuatu maka tinggalkanlah”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Ini adalah bukti bahwa Al Qur’an tidak mungkin bisa difahami dengan benar kecuali dengan Sunnah. Meski perintah haji telah disebutkan dalam Al Qur’an, akan tetapi ia tidak dijelaskan harus berapa kali? Dan bagaimana praktiknya… karenanya, salah seorang sahabat menanyakan seperti itu. Dan seandainya Nabi mengiyakan pertanyaannya, pastilah haji akan diwajibkan setiap tahun; dan ini membuktikan bahwa Sunnah merupakan dalil yang independen alias berdiri sendiri.

Sebenarnya masih banyak hadits-hadits lain yang berbicara mengenai kedudukan Sunnah, sebagiannya telah kita singgung di tulisan-tulisan sebelumnya, karenanya cukuplah hadits-hadits tadi sebagai dalil yang qoth’i dalam masalah ini.

Nah, setelah mendengar beberapa ayat dan hadits yang menjelaskan betapa eratnya kaitan antara Al Qur’an dan Sunnah, maka perlu kita ketahui bahwa kaitan Sunnah dengan Al Qur’an ada tiga bentuk. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama sejak dahulu, seperti Imam Syafi’i dalam kitabnya yang terkenal: Ar Risalah, demikian pula oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya: I’lamul Muwaqqi’ien.

Menurut Imam Syafi’I, sunnah terbagi dalam tiga bentuk: (1) Sunnah yang menjelaskan seperti nash Al Qur’an, (2) Sunnah yang menjabarkan nash Al Qur’an yang bersifat global, dan (3) Sunnah yang menjelaskan sesuatu yang tidak disinggung dalam Al Qur’an”. Beliau juga mengatakan bahwa: “Semua yang Rasulullah ajarkan, berarti kita diharuskan oleh Allah untuk mengikutinya. Karena meninggalkan ajaran beliau berarti maksiat kepada Allah”.[2]

Demikian pula menurut Ibnul Qayyim, beliau menjelaskan bahwa kedudukan Sunnah terhadap Al Qur’an tak lepas dari tiga bentuk: Pertama, Sunnah yang menyamai Al Qur’an dari semua sisi, hingga menjadi dalil tambahan dalam suatu masalah. Kedua, Sunnah yang menjelaskan dan menafsirkan hal-hal yang masih global dalam Al Qur’an. Contohnya, kita tahu bahwa Al Qur’an memerintahkan shalat dalam beberapa ayat, maka Sunnah datang untuk menjelaskan tata cara, rukun-rukun, syarat-syarat, dan hal-hal lain yang berkenaan dengannya. Demikian pula dalam masalah haji dan lain-lain. Ketiga, Sunnah yang mewajibkan atau melarang sesuatu yang didiamkan oleh Al Qur’an. Misalnya pengharaman setiap binatang yang bertaring dan burung yang berkuku tajam, demikian pula haramnya daging keledai jinak dan sebagainya. Semua ini tidak disinggung dalam Al Qur’an, akan tetapi Sunnahlah yang menetapkan hukumnya secara independen.

Mengingat urgensinya yang demikian penting, ada baiknya jika kita bahas bagaimana sikap kaum muslimin dahulu dan sekarang terhadap sunnah Nabi mereka. Agar kita tahu apa yang wajib kita lakukan dalam hal ini, dan apa yang tidak boleh kita lakukan.

Setelah Sunnah Nabi diyakini keabsahannya, ia meraih kedudukan yang sangat istimewa di kalangan kaum muslimin, baik dahulu maupun sekarang. Kedudukan tersebut setara dengan yang dimiliki oleh Al Qur’an dari segi wajibnya diamalkan dan harusnya menjadi rujukan dalam perselisihan. Bahkan bila sunnah telah bicara, maka semua pendapat haruslah dikesampingkan… Sebagai contoh nyata, cobalah kita perhatikan ucapan Umar bin Khatthab berikut:

“يا أيها الناس : إن الرأي إنما كان من رسول الله مصيباً، لأن الله تعالى كان يريه، وإنما هو منا الظن والتكلف “

Wahai saudara sekalian, sesungguhnya pendapat yang benar ialah yang berasal dari Rasulullah, karena Allah menunjuki beliau. Sedang yang berasal dari kita adalah sekedar dugaan dan sesuatu yang dipaksakan. (HR. Al Baihaqy).

Sebab itulah kita lihat Umar sering kali ruju’ dari pendapatnya, tiap kali ia mendengar hadits Rasulullah dalam suatu masalah yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Begitu terbukti kebenaran hadits yang didengarnya, ia langsung mengamalkannya tanpa ragu-ragu sedikitpun. Salah satu buktinya ialah apa yang diriwayatkan oleh Al Baihaqy dari Thawus bahwa Umar bin Khatthab mengatakan:

“أذكر الله امرءاً سمع عن النبي عليه الصلاة والسلام في الجنين شيئاً ؟ فقام حمل بن مالك بن النابغة فقال:”كنت بين جاريتين لي – يعني ضرتين – فضربت إحداهما الأخرى بمسطح، فألقت جنيناً ميتاً، فقضى فيه رسول الله عليه الصلاة والسلام بغرة “، فقال عمر: لو لم نسمع هذا لقضينا فيه بغير هذا، إن كدنا نقضي فيه برأينا “

Kuingatkan terhadap Allah, bila seseorang pernah mendengar sesuatu dari Nabi tentang janin? Maka bangkitlah Hamal bin Malik bin Nabighah seraya berkata: “Suatu ketika aku berada di antara dua isteriku, lalu salah satunya memukul yang lain dengan tiang penyangga, hingga ia mengeluarkan janinnya yang mati, maka Rasulullah menetapkan tebusannya berupa seorang budak”. Maka Umar pun berkata: “Seandainya kami tidak mendengar hadits ini, pastilah kami memberi keputusan yang berbeda, karena hampir saja kami memutuskan dengan pendapat kami”.

Coba kita perhatikan sikap Umar di atas… sikap seorang Faruq (pembeda antara yang hak dengan yang batil) yang telah dijamin Surga oleh Rasulullah. Bahkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Abu Dzar dan Ibnu Umar, Rasulullah pernah mengatakan:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ

Sesungguhnya Allah meletakkan kebenaran pada lisan dan hati Umar (HR. Ahmad dgn sanad shahih).

Akan tetapi hal itu sama sekali tidak menjadikan Umar sok tahu… apalagi mengabaikan Sunnah Rasulullah dan mencukupkan diri dengan Al Qur’an, sebagaimana ulah sebagian orang di zaman ini.

Demikian pula sikap para sahabat lainnya… tak seorang pun dari mereka yang berani menolak sebuah hadits pun dari Rasulullah, setelah meyakini keabsahannya. Insya Allah dalam pertemuan berikutnya akan kita sebutkan betapa besarnya penghormatan para salaf terhadap Sunnah Rasulullah, mulai dari para sahabat, tabi’ien dan penerus mereka.

Untuk sementara saya cukupkan sampai di sini, dan kita lanjutkan dalam tulisan berikutnya, Jazakumullah atas waktu yang antum luangkan untuk membaca tulisan ini…

وصلى الله على سيدنا محمد والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Maraji`:

1-Shahih Muslim

2-Musnad Ahmad

3-Mustadrak Al Hakim

4-As Sunanul Kubra, oleh Al Baihaqy.

5-Manzilatus Sunnah fil Islam, oleh Syaikh Al Albani.

6-Majalah Jami’ah Islamiyah ed. 18.

7-Durus Syaikh Muhammad Hassan.


[1] Lihat: Manzilatus Sunnah fil Islam hal 18 oleh Syaikh Al Albani.

[2] Lihat: Majalah Jami’ah Islamiyyah ed. 18 hal 18.